Total Tayangan Halaman

Kamis, 19 April 2012

URGENSI PENERAPAN PEMBELAJARAN AKTIF DI PERGURUAN TINGGI GUNA MENCETAK CALON PENDIDIK YANG KOMPETEN DALAM MENDESAIN PEMBELAJARAN AKTIF DAN MENYENANGKAN

Oleh : Wiji Winardi 
NIM: 08410034 
Dunia pendidikan kita saat ini tengah mengalami krisis yang amat serius, hal demikian bukan hanya disebabkan oleh rendahnya anggaran untuk pendidikan dari pemerintah untuk membiayai kebutuhan vital dunia pendidikan, akan tetapi juga karena faktor lemehnya tenaga ahli, visi serta politik pendidikan nasional yang tidak jelas. Dalam berbagai forum seminar muncul berbagai kritik “konsep pendidikan telah tereduksi menjadi pengajaran, dan pengajaran lalu menyempit menjadi kegiatan dikelas”. Sementara yang berlangsung dikelas tak lebih dari kegiatan guru/dosen mengajar murid/mahasiswa dengan mengejar target kurikulum serta nilai UAN untuk siswa disekolah mulai dari tingkat dasar sampai menengah. Sisi lain dari kritik tersebut menunjukan baha proses pendidikan pada jenjang universitas kurang sekali memberikan tekanan pada pembentukan kematangan potensi dari dari didik tapi lebih pada hapalan dan pemahaman yang sifatnya kognitif. Akibatnya ketika mereka masuk ke dunia yang sesunggunya pasca study mental dedikasi kemanirianya belum sepenuhnya terbentuk. Akibat lebih lanjut, dunia kampus seakan menjadi dunia yang berbeda/terpisah dari masyarakat, sebuah dunia yang tidak menjanjikan dan tidak inspiring untuk mas depan mereka serta masa depan bangsa. Jika yang demikian memang benar adanya, maka bagaiman kita membangun optimisme masa depan bangsa yang sarat dengan kompetisi? Pada level global sekarang muncul kesadaran baru tentang pentingnya pendidikan yang memberikan kepedulian pada ekologi. Kesadaran ini didasari oleh sebuah fakta, bahwa kemajuan ilmu pengetahuan yang bersifat positif, yang muncul pada era sekarang ternyata dinilai telah membawa implikasi yang sangat serius, berupa kehancuran ekosistem, baik lingkungan maupun social. Melihat kenyataan seperti ini pendidikan harus memberikan perhatian pada aspek kultural dan ekologi, bukanya berfokus pada pengajaran kognitif dan pelatihan ketrampilan teknis. Dengan ungkapan lain, salah satu agenda penting penidikan dimasa depan adalah bagaimana mengatasi krisis kemanusiaan, termasuk persoalan krisis makna hidup. Kalau kita ikuti beberapa literature yang berkembang dibarat, sekarang ini bnyak sekali bermunculan buku-buku pendidikan, filsafat maupun juga ilmu-ilmu social, yang meluncurkan kritik sangat pedas terhadap terhadap kegagalan ideologi kapitalisme dan sosialisme, karena keduanya ternyata gagal membuktikan dirinya sebagai model untuk menyelenggarakan kehidupan social sebagaimana yang telah dijanjikan. Namun begitu, pihak umat beragama juga memiliki problem besar karena ajaran agama yang secara normative selalu disanjung dan dibela, ketika sampai pada pelaksanaan empiris selalu mengalami kegagalan. Trend global yang harus disikapi oleh kalangan pendidik ialah menguatnya isu ataupun gelombang dekratisasi, hak asasi manusia, kesadaran ekologis, pluralism agama dan budaya, serta pasar bebas. Sekalipun tema-tema itu bersifat umum ataupun global, pengaruhnya terhadap pola-pikir dan prilaku masyarakat sangat signifikan. Untuk menyikapi ternd ini, dunia pendidikan merupakan tyempat yang pertama dan utama. Dalam kompetisi global, sekalipun Negara memiliki sebuah SDA yang melimpah, jika tidak didukung SDM yang memadai Negara tersebut akan kalah bersaing. Ada sebuah buku yang mengesankan saya yang ditulis oleh Amartya sen, pemenang hadiah nobel berasal dari india, yang berjudul “development as freedom”. Bahwa tolak ukur keberhasilan politik, ekonomi maupun pendidikan adalah seberapa jauh semua usaha itu bias memberikan ruang dan fasilitas yang lebih luas bagi pengembangan kepribadian dan kebebasan masyarakat. Dengan kata lain, proses dan hasil pembangunan dinilai gagal jika tidak bias meningkatkan harkat manusia. Tren pendidikan abat 21 kelihatanya lebih berorientasi pada pengembangan potensi manusia, bukan memusatkan pada kemampuan teknikal dalam melakukan eksplorasi dan eksploitasi alam sebagaimana yang terjadi pada abad 20. Pergeseran ini bukan hanya didorong oleh kenyataan terjadinya krisis ekologi. Tetapi juga oleh hsail riset terutama dalam bidang neropsikologi menunjukan bahwa potensi manusia yang sudah teraktualisasi masih sangat sedikit, baru seekitar 10%. Dengan begitu masa depan peradapan manusia masih sangat sulit untuk diprediksikan karena kemungkina besar masih akan terjadi berbagai inovasi yang mengejutkan baik dalam aspeknya yang positif maupun negative. Dalam dunia pendidikan telah muncul beberapa istilah yang bersifat pembaharuan seperti, “quantum learning”, “accelerated learning”. “learning revolution” dan “active learning”. Asumsinya ialah jika manusia mampu menggunakan kemampuan nalarnya dan emosinya secara jitu akan mampu membuat loncatan pretasi yang tidak bias digunakan sebelunya. Dengan metode yang tepat seseorang bias meraih prestasi belajar secara berlipat ganda. Hal ini tentu saja merupakan peluang bagi kalanga pendidik Maupun calon pendidik. Akan tetapi, jika bangsa Indonesia terlambat dalam mengapresiasi berbagai temuan mutkhir dalam bidang metodologi pendidikan, maka kita akan semakin tertinggal dibelakang. Tetapi sekali lagi, kita tidak boleh terjebak dalam proses pendidikan dan pengajaran yang hanya melahirkan sarjana bermental tukang dan mental pengawal yang miskin imajinasi dan lemah karakter. Pendidikan harus bersifat inspiratif dan liberatif, pendidikan itu harus membebaskan manusia. Bebas dari apa? Dari kebodohan, dari keterbelakngan, dari ketertinggalan, dari penindasan dan dari berbagai hal yang membelenggu pertumbuhan manusia. Berikutnya yang ingin saya sampaikan dalam tulisan ini sekian banyak literature mutakhir dalam masalah pendidikan yang banyak berkembang diluar negri khususnya Negara maju, sangat lambat masuk di Indonesia dan bahkan mungkin tidak dikenal. Kalau toh buku-buku itu masuk kurang memperoleh respon yang serius dari kalangan pendidik. sayang sekali kalau tidak ada sebuah terobosan baru dalam dunia pendidikan dan pengajaran, sudah pasti posisi bangsa ini akan semakin terpinggirkan ditengah menguatnya ekspansi kekuatan asing dan globalisme informasi, ekonomi, dan ilmu pengetahuan. Dalam beberapa literature istilah “student” diganti dengan ‘learner” ini merupakan sebuah kesadaran baru bahwa yang harus diutamakan ialah peran anak didik sebagai actor. selama ini yang lebih ditonjolkan adalah guru atau dosen, sementara murid atau mahasiswa diposisikan sebagai objek atau bagaikan kaleng tabung untuk menapung petuah-petuah dosen. Metode ini sudah banyak dikecam oleh para ahli sekalipun dinegri ini masih sangat kental. Salah satu prinsip dari “active learning” adalah belajar itu harusnya mengasikan dan berlangsung dalam suasana gembira sehingga pintu masuk untuk informasi baru akan lebih terbuka dan terekam dengan baik. Konsep inilah yang seharusnya dikembangkan pada fakultas pendidikan di UIN sunan kalijaga Yogyakarta ini, bagaimana mencetak guru-guru yang mampu mengubah kelas menjadi suasana yang kompetitif, aktif dan menggembirakan. Usaha LPTK adalah usia yang tidak bisa ditunda-tunda. Dan apabila pihak LPTK dan pihak pendidik/dosen tidak merespon masalah ini, saya kawatir bahwa jangan-jangan benih-benih pendidik yang unggul akan mati ditangan LPTK dan dosen yang memang tidak kompeten dalam mendesain pembelajaran. Peserta didik dikirim kelembaga pendidikan “perguruan tinggi” bukanya berkembang, tapi tapi yang terjadi malah sebuah proses pembodohan. Perguruan tinggi telah mencetak bonsai-bonsai, sebuah bibit pohon besar diubah menjadi kerdil. Mahasiswa dididik/didesain untuk diseragamkan menjadi produk masal dan kreativitas mereka disumbat. Masing-masing rumah pengetahuan itu lorongnya saling berhubungan sehingga menghasilkan gagasan-gagasan asosiatif, sintetis, kritis, dialektis dan seterusnya. Yang pada giliranya ibarat sebuah pohon akan melahirkan kerimbunan yang penuh dengan muatan ilmu dan pengetahuan. jadi ketika diteliti saraf-saraf otak yang aktif itu bagaikan pohon yang rimbun, yang saling berkaitan. Kalau kita melihat proses pendidikan yang berlangsung, terdapat kesan kuat bahwa proses pembelajaran yang berlangsung kurang memperhatikan potensi individual dan potensi sserta kinerja otak dan emosi. Kinerja otak itu ibarat bola lampu. Jika dilatih bias mengeluarkan cahaya pengetahuan kesegala penjuru karena jaringan otaknya berkesinambungan membentuk bulatan bola yang dihubungkan oleh sel-sel saraf yang milyaran jumplahnya. Dalam pendekatan lain, pendidikan yang baik ialah yang mampu mengaktifkan otak kanan dan bukan hanya otak kiri, otak kanan memiliki kemampuan imajinatif, holistic, kreatif dan bias menghasilkan ide-ide “subyektif” diluar pakem yang bias dianut oleh otak kiri yang bersifat linier dan analitis. Jadi yang bagus memang menciptakan keseimbangan. Model pembelajaran active learning tepat untuk dijadikan rujukan dan komparasi khususnya dikalangan perguruan tinggi untuk menjadikan proses pendidikan pendidikan lebih sehat dan lebih menjanjikan dimasa depan generasi bangsa sehingga mereka yang memiliki bibit unggul bukanya malah mati di perguruan tinggi. Kata pakar pendidikan, dosen yang baik ialah dosen yang bias belajar dari mahasiswanya. Mahasiswa adalah “dosenya” dosen. Dan setiap mahasiswa ialah sebuah dunia yang unik yang perlu dipahami secara individual. Seorang akan menjadi dirinya berdasarkan kepribadianya yang unik itu. Dengan demikian seorang dosen haruslah memiliki kemampuan berempati, menjadi pendengar yang baik dan bisa menjadi fasilitator bagi anak didiknya dalam memecahkan problemnya.

Senin, 30 Januari 2012

PROGRESIVISME EDUCATION


A.    Latar Belakang aliran Filsafat Progresivisme
         Gerakan yang terbentuk di Eropa dan Amerika Utara pada akhir abad ke-19 sebagai reaksi terhadap dugaan formalisme sempit dan pendidikan tradisional. A main objective was to educate the "whole child" — that is, to attend to physical and emotional as well as intellectual growth. Sebuah Tujuan utama adalah untuk mendidik "seluruh anak" - yaitu, untuk menghadiri fisik dan emosional serta pertumbuhan intelektual. Creative and manual arts gained importance in the curriculum, and children were encouraged toward experimentation and independent thinking. Kreatif dan manual yang diperoleh seni penting dalam kurikulum, dan anak-anak didorong ke arah eksperimentasi dan pemikiran independen. Progressive educational ideas and practices were most powerfully advanced in the US by John Dewey . See also Summerhill School . Pendidikan progresif gagasan dan praktik-praktik maju paling kuat di Amerika Serikat oleh John Dewey.
Progresifisme muncul di amerika serikat tahunn 1970 yang  diperkenalkan oleh Francis W. Parker. Aliran ini muncul atas dasar kritik terhadap sistem pendidikan tradisional yang sangat kaku, menuntut disiplin, ketat dan menutut subyek didikmenjadi pasif. Gerakan pembaharu yang sudah ada sejak awal abat XIX itu mendapatkan angin segar pada abad XX dengan munculnya filsafat prakmatisme. Filsuf danjuga pendidik yang bernamaJhon dewey berusaha menjalin pendidikan progresif dan prakmatise.
Selaras dengan pandangan orang-orang prakmatisme bahwa realitas itu terus-menerus beubah, aliran progresifisme berpendapat bahwa pendidikan merupakan proses penggalian pengalaman secara terus-menerus. Pendidikan haruslah siap sedia untuk meng  u bah metode dan kebijakanya ddalam mengikuti perkembangan zaman, ilmu pengetahuan dan perubahan lingkungan atau sosial. inti pendidikan tidak terletak pada usaha penyesuaian dengan masyarakat atau dunia luar sekolah , dan juga tidak terletak pada usaha untuk menyesuaikan dengandengan standatr kebaikan, kebenaran dan keindahan yang abadi, melainkan pada usaha untuk terus-menerus merekontruksi (Menyusun kembali) pengaaman hidup, seperti yang dirumuskan olh Jhon dewey: “Demikian kita telah sampai pada rumusan teknis tentang pendidikan, yakni rekontruksi dan reorganisasi pengalaman dengan menambahkan makna pada pengalaman tersebut dan menambah kemampuan untuk mengarahkan jalan kemampuan tersebut.”

B.     Konsep-Konsep Dasar Progresivisme

Untuk merealisasikanharapan dan tujuan tetrsebut, Rekontruksiolisme mendasarkan diri pada konsep yang antara lain seperti yang dirimuskan oleh George F. Knnneller bahwa prinsip-prisip mendasar progresivisme dapat dirincikan menjadi enam:
Pertama, pendidikan harus lebih “aktif” dan berkaitan dengan minat anak. Artinya progresivisme menekankan perlunya meruskan pendidikan pada anak sebagaimana adanya.
Kedua, belajar melalui pemecahan masalah mesti menggantikan cara belajar yang menekankan penerimaaan bahan jadi. Artinya progresivisme menolak pandangan tradisional  yan gmenyatakan belajar secara hakiki terjadi melalui penerimaan pengetahuan dimengerti sebagi bahan abstrak yangg dimasukan guru kedalam benak anak. Menurut progresivisme pengetahuan merupakan alat untuk mengolah pengalama. Dengan kata lain kita harus bisa berbua sesuatu dengan pengetahuan trsebut.
Ketiga, Pendidikan mestimrupakan hidup sendiri dan bukan hanya suatu untuk hidup. Artinya semua hidup yang dinalar merupakan merupakan suatu kgiatan belajar karena hal itu melibatkan penafsiran dan penataankembali pengalaman.maka dari itu seklah perlu dijadikan tempat anak belajaruntuk hidup secara ritis dan bernalar. Sekolah mesti menempatkan anak didik dalam situsi belajar sesuai dengan umur ddan menujuk pada hal-hal kiranyaakan dihadapi dalam hidupya sebagai orang dewasa.
Keempat. Perananan guru lebih pada kependampingan dan penasihat dai pada penentu pokok. Artinya minat dan kebutuhan anak didiklahyang mesti menjadi pementu pokol dalam apa yang semestinya ia pelajari. Anak-anak harus dibimding untuk merencanakan kegiatan belajar mereka, guru menyediakan failitas engan memberikan pengetahuan dan pengalaman yang lebih luas untuk mereka gunakan dan apa bila menemui kemacetann guru perlu menolong.
Kelima, sekolah harus mendorong adanya kerja sama diantara murit-murit dan bukan persaingan. Maksunya adalah manusia pada dasrnya makluk sosial dan mendapatkan kepuasan terbesar dari hubungan-hubungan mereka satu sama lain .kaum pprogresf yakin bahwa prtemanan lebih cocok untuk pendidikan ketimbang persaingan dan semangat mengajar sukses pribadi. Halini karena pertemuan lebih dapat mengembangkan segi yang lebih tinggi sebagai manusia, sebagai makluk yang berbudaya pada faktanya peserta didik lebih senang bekerja secara kolektif dibandingkan bekerja sama individual.
Keenam, demokrassi memungkinkan dan mendorong adanya percaturan bebas gagasan dan percaturan macam-macam pribadi yang meupakan syarat penting untuk pertumbuhan. Maksudnya para kaum progresif kerja sama dan demokrasi saling mengandaikan. Secara ideal, demokrasi demokrasi merupakan pengaalaman yang di jalani bersama seperti yang dinyatakan oleh Dewey  “suatu demokrasi itu lebih daripada suatu bentuk pemerintahan. Demokrasi pertama-tama merupakan bentuk kehidupan bersama , suatu pengalaman komunikatif yang digabungkan.
Pengalaman yang dimiliki dan dibagi bersama merupakan syarat bagi adanya pertumbuhan menuntut adanya pendidikan. Dengan demikian demokrasi pertumbuhan dan pendidikan saling beraitan. Kaum progresif tidak setuju sekolah dijadikan sebagai tempat atau agen untuk mendoktrin sisw/mahasiswa telibat dalam kegiatan sosial politik. Menurut progresifisme , karena kalau itu terjadi berarti memilih bentuk pendidikan yang otoriter progresifisme menolak akan hal yang demikian itu.


C.    Kritik tehadap progresifisme
Terdapat beberapa poin yang menjaadi sasaran kritik  tekit denggan konsep pendidikan yang ditawarkan oleh progresifisme.
Pertama, koonsep pertumbuhan berdasarkas aktifitas diri anak merupakan konsep yang kabur . progresifisme seperti subah kita lihat menekankan pendidikan yang berpusat pada anak. Menurut pengmat aliran ini , aktifitas diri anak akan membawa pda arah pertumbuhan dan perbaikan dari diri mreka. Tetapi apa artinya pertumbuhan atau perbaikan jika aliran progresisme melonak adanya tujuan akhir tertentu dari aktivitas diri anak. Tanpa adanya tujuan akhir tertentu tentang tujuan konsep pertumbuhan, kemajuan ataupun perbaikan mnjadi suatu konsep yang kaburdan tidak jelas untuk di ukur tingkat kberhasilanya. Membandingkan dengan pengalaman masa lalu saja belumlah begitu cukup untuk melihat apakah suatu langkah merupakan pertumbuhan , kemajuan atau perbaikan.
Kedua, prinsip bahwa anak harus dididik sesuai dengan minat dan kebutuhan mereka sendiri serta guru berfungsi sebagai pendamping merupakan prinsip yang tidak realistis
Ketiga,  pernyataan progresifisme yang menyatakan bahwa cara belajar dengan memecahkan masalah yang secara langsung di alami oleh anak  merupakan cara belajar yang paling efektif tidak berlaku secara mutlak. Permasalahanya pemenuhan kebutuhan dan pemecahan masalah yang secara de facto dihadapi anak pada waktu dan tempat tertentu itu merupakan suatu yang secara objektifcukup penting serta  akan ber[engaruh besar pada kemampuan belajar anak tersebut tidak bisa diprediksi.
Jeempat, tidak ada kaitan langsung antara antara sistem pendidikan progresif dengan demorasi. Dengan menekankan pentingnya kebebasan  bagi anak untuk berekpresi dan mengembagkan diri sesuai dengan minat dan bakatnya serta pentingnya pengaturan kehidupan sekolah ecara emokrasi. Progresif memang menunjang perkembangan sistem demokrasi dalam masyarakat akan tetapi pengharggaan terhhadap nilai-nilai demokrai bukanlah monopoli sistem pendidikan progresif. Perlu diingat  bahwa aliran-aliran filsafat pendidikan yang lain seperti perrenialisme dan esensialisme yang oleh progresifisme dicab konservatifpun mengargai dan memperjuangkan nilai-nilai demokrasi. Masalahnya konsep demokrasi itu sendiri mempunyai pengertian yang luas dan memungkinkan adanya macam-macam penafsiran dari sistem pemikiran yang berbeda-beda.





DAFTAR PUSTAKA
Thohib Ismail. 2008. Wacana Baru Pendidikan. Yogyakarta
Bertens. 1975. Sejarah Filsafat. Yogyakarta:Kanisius
Hasbulah Bakry. 1961. Di Sekitar Filsafat Islam. Solo :AB Siti Syamsiah
Pringgodidgo. 1972. Ensiklopedia umum. Yogyakarta : Kanisius

Kamis, 12 Januari 2012

ALIRAN FILSAFAT PENDIDIKAN ESENSIALISME


Filsafat pendidikan modern pada garis besarnya dibagi kepada empat aliran yaitu aliran progresivisme, esensialisme, perenialisme dan rekonstruksianisme (Imam Barnadib, 1982, Mohammad Noor Syam, 1986). Namun pada tulisan ini hanya penggambaran singkat yakni penggambaran  hal-hal yang menjadi ciri utama masing-masing aliran filsafat pendidikan.
          Secara etimologi esensialisme berasal dari bahasa Inggiris yakni essential (inti atau pokok dari sesuatu), dan isme berarti aliran, mazhab atau paham. Menurut Brameld bahwa esensialisme ialah aliran yang lahir dari perkawinan dua aliran dalam filsafat yakni idealism dan realism. Aliran ini menginginkan munculnya kembali kejaaan yang pernah diraih, sebelum abad kegelapan atau disebut “the dark middle age” (zaman ini akal terbelenggu, stagnasi dalam ilmu pengeetahuan, kehidupan diwarnai oleh dogma-dogma gerejani. Zaman renaissance timbul ingin menggantikannya dengan kebebasan dalam berpikir.
          Esensialisme dianggap para ahli sebagai “conservative road to culture” yakni ingin kembali kepada kebudayaan lama, warisan sejarah yang telah terbukti kebaikannya bagi kehidupan manusia, terutama zaman renaissance pada abad XI, XII, XIII dan XIV. Pada masa ini telah berkembang usaha-usaha menghidupkan kembali ilmu pengetahuan dan kesenian serta kebudayaan Purbakala, terutama di zaman Yunani dan Romawi Purbakala. Zaman renaissance ini sebagai reaksi terhadap tradisi, puncaknya tumbuh individualism dalam berpikir dan bertindak dalam semua cabang aktivitas manusia. Sumber utama dari kebudayaan itu adalah ajaran filsafat, ahli ilmu pengetahuan, yang ajaran dan nilai-nilai ilmu mereka bersifat kekal dan monumental.
          Pemikir-pemikir besar yang telah dianggap sebagai peletak dasar asas-asas filsfat aliran ini  terutama yang hidup pada zaman klasik seperti Plato, Aristatoles, dan Democritus.
          Dalam bidang pendidikan, “fleksibilitas”dalam segala bentuk dapat menjadi sumber timbulnya pandangan yang berubah-ubah, kurang stabil dan tidak menentu sehingga pendidikan itu kehilangan arah. Pendidikan haruslah bersendirikan atas nilai-nilai yang dapat mendatangkan kestabilan, sehingga untuk memenuhinya haruslah dipilih nilai-nilai yang mempunyai tata yang jelas dan yang telah teruji oleh waktu yakni nilai-nilai yang berasal dari kebudayaan dan filsafat yang korelatif selama empat abad belakangan ini, dengan perhitungan zaman renaissance sebagai pangkal timbulnya pandangan esensialisme.
          Realisme, titik tinjauannya adalah mengenai alam dan dunia fisik, sedangkan idealism modern, pandangan-pandangannya bersifat spiritual. Brubacher memberikan ciri masing-masing:
  1. Realisme; alam adalah yang pertama-tama memiliki kenyataan pada diri sendiri, dan ini harus dijadikan pangkal berfilsafat. Kualitas-kualitas dari pengalaman terletak pada dunia fisik, dan disanalah terdapat sesuatu yang menghasilkan penginderaan dan persepsi-persepsi yang tidak semata-mata bersifat mental. Jadi jiwa dapat diumpamakan sebagai cerminan yang menerima gambaran-gambaran yang berasal dari dunia fisik. Ini berarti bahwa anggapan-anggapan mengenai adanya kenyataan itu tidak dapat hanya sebagai hasil tinjauan yang menyebelah saja, melainkan pertemuan antara keduanya.
  2. Idealisme modern; bahwa realita adalah sama dengan substansi gagasan (ide-ide). Di balik dunia fenomena ini ada jiwa yang tidak terbatas yaitu Tuhan yang merupakan pencipta adanya kosmos. Manusia sebagai makhluk berpikir berada dalam lingkungan kekuasaan Tuhan. Dengan menguji dan menyelidiki ide-ide serta gagasannya, manusia akan dapat mencapai kebenaran yang sumbernya adalah Tuhan.  
Menurut Imam Barnadib bahwa ciri utama esensialisme adalah pendidikan haruslah bersendikan atas nilai-nilai yang dapat mendatangkan kestabilan. Agar dapat terpenuhi maksud tersebut nilai-nilai itu perlu dipilih yang mempunyai tata yang jelas dan yang telah teruji oleh waktu. Nilai-nilai yang dapat memenuhi hal tersebut adalah yang berasal dari kebudayaan dan filsafat yang korelatif selama empat abad belakangan ini; dengan perhitungan zaman Renaisans, sebagai pangkal timbulnya pandangan-pandangan esensialistis awal. Puncak refleksi dari gagasan ini adalah pada pertengahan kedua abad ke sembilan belas. Esensialisme merupakan suatu gerakan dalam pendidikan yang memprotes terhadap pendidikan progresivisme. Esensialisme tidak sependapat dengan pandangan progresivisme yang serba fleksibilitas dalam segala bentuk. Pendidikan yang bersendikan atas nilai-nilai yang bersifat demikian ini dapat menjadikan pendidikan itu sendiri kehilangan arah. Dalam pemikiran pendidikan esensialisme, pada umumnya didasari atas filsafat idealisme dan realisme. Sumbangan dari masing-masing ini bersifat eklektif.
a. Ontologi Esensialisme:      
Ontologi filsafat pendidikan idealisme menyatakan bahwa kenyataan dan kebenaran itu pada hakikatnya adalah ide-ide atau hal-hal yang berkualitas spiritual. Oleh karena itu, hal pertama yang perlu ditinjau pada peserta didik adalah pemahaman sebagai makhluk spiritual dan mempunyai kehidupan yang bersifat teleologis dan idealistik. Pendidikan bertujuan untuk membimbing peserta didik menjadi makhluk yang berkepribadian, bermoral, serta mencita-citakan segala hal yang serba baik dan bertaraf tinggi.
b. Epistemologi Esensialisme:
Aspek epistemologi yang perlu diperhatikan halam pendidikan adalah pengetahuan hendaknya bersifat ideal dan spiritual, yang dapat menuntun kehidupan manusia pada kehidupan yang lebih mulia. Pengetahuan semacam itu tidak semata-mata terikat kepada hal-hal yang bersifat fisik, tetapi mengutamakan yang bersifat spiritual. Sedangkan aspek aksiologi menempatkan nilai pada dataran yang bersifat tetap dan idealistik. Artinya, pendidik hendaknya tidak menjadikan peserta didik terombang-ambing oleh hal-hal yang bersifat relative atau temporer (Imam Barnadib, 2002). Ontologi dari filsafat pendidikan realisme bahwa pendidikan itu seyogyanya mengutamakan perhatian pada peserta didik seperti apa adanya, artinya utuh tanpa reduksi.
Dalam bidang epistemologi, bahwa pengetahuan adalah hasil yang dicapai oleh proses mana subjek dan objek mengadakan pendekatan. Dengan demikian hasilnya adalah perpaduan antara pengamatan, pemikiran, dan keseimpulan dari kemampuan manusia dalam menyerap objeknya. Oleh karena itu, epistemologi dalam filsafat pendidikan realisme adalah proses dan produk dari seberapa jauh pendidik dapat mempelajari secara ilmiah emperis mengenai peserta didiknya. Hasil-hasilnya akan digunakan sebagai dasar untuk menyelenggarakan pendidikan.
c. Aksiologi Esensialisme:
Sedangkan dalam bidang aksiologi, faktor peserta didik perlu dipandang sebagai agen yang ikut menentukan hakikat nilai (Imam Barnadib, 2002).
          Esensialisme didasari atas pandangan humanisme yang merupakan reaksi terhadap hidup yang mengarah pada keduniaan, serba ilmiah dan materialistis. Selain itu juga diwarnai oleh pandangan-pandangan dari paham penganut aliran idealisme dan realisme. Tujuan umum aliran esensialisme adalah membentuk pribadi bahagia di dunia dan akhirat (Zuharini, dkk, 1992). Johann Amos Comenius (1592-1670) sebagai salah satu tokoh esensialisme mengatakan bahwa karena dunia ini dinamis dan bertujuan, kewajiban pendidikan adalah membentuk anak sesuai dengan kehendak Tuhan. Tugas utama pendidikan ialah membina kesadaran manusia akan semesta dan dunia, untuk mencari kesadaran spiritual, menuju Tuhan (Imam Barnadib, 2002; Mohammad Noor Syam, 19886).
Teori nilai menurut Idealisme bahwa hukum-hukum etika adalah hukum kosmos, karena itu seseorang dikatakan baik hanya bila ia secara aktif berada di dalam dan melaksanakan hukum-hukum itu. Dengan demikian posisi seseorang jelas dapat dimengerti dalam hubungannya dengan nilai-nilai itu. Dalam filsafat, misalnya agama dianggap mengajarkan doktrin yang sama, bahwa perintah-perintah Tuhan mampu memecahkan persoalan-persoalan moral bagi siapapun yang mau menerima dan mengamalkannya. Meskipun Idealisme menjunjung asas otoriter atas nilai-nilai itu, namun ia tetap mengakui bahwa pribadi secara aktif bersifat menentukan nilai-nilai itu atas dirinya sendiri yaitu memilih dan melaksanakan.
          Teori nilai menurut Realisme
Prinsip sederhana Realisme tentang etika ialah melalui asas ontologi bahwa sumber semua pengalaman manusia terletak pada keteraturan lingkungan hidupnya. Karena itu approach yang paling tetap pada nilai-nilai ialah sebagai mana approach pada pengetahuan, yakni dengan pemahaman obyektif atas peristiwa-peristiwa dalam kehidupan. Fakta, peristiwa itulah yang menimbulkan pertimbangan proporsional dalam ekspresi keinginan, rasa kagum, tidak suka dan penolakan. Kecenderungan approach obyektif ini yang melahirkan penyelidikan ilmiah, khususnya dalam ilmu pengetahuan sosial (Mohammad Noor Syam, 1986).
          Teori belajar menurut esesialisme ialah teori korenpondensi sebagai dasar. Yakni kebenaran adalah persesuaian antara pernyataan dan fakta. Meskipun proses belajar dianggap bidang psikologi, tetap oleh aliran ini belajar juga dianggap sebagai masalah ontologi, epistemologi dan axiologi. Pendirian demikian berdasarkan prinsip bahwa perlu verifikasi kodrat realita yang kita pelajari (ontologi). Juga diperlukan reliabilitas pengetahuan yang dipelajari (epistemologi) dan demikian pula nilai dari realitas dan pengetahuan itu (axiologi). Pada prinsipnya proses belajar adalah melatih daya jiwa yang potensial sudah ada. Proses belajar sebagai proses menyerap apa yang berasal dari luar. Yaitu dari warisan-warisan sosial yang disusun di dalam kurkulum tradisional, dan guru berfungsi sebagai perantara.
          Prinsip-prisinsip pendidikan esensialisme yaitu (1) pendidikan harus dilakukan melalui usaha keras, tidak begitu saja timbul dari dalam diri siswa, (2) inisiatif dalam pendidikan ditekankan pada guru, bukan pada peserta didik. Peranan guru adalah menjembatani antara dunia orang dewasa dengan dunia anak. Guru disiapkan secara khusus untuk melaksanakan tugas di atas, sehingga guru lebih berhak untuk membimbing pertumbuhan peserta didiknya. Esensialisme, menurut Imam Barnadib, bahwa guru sebagai penentu bagi pendidikan. Kedudukan guru atau pendidik demikian penting karena mereka mengenal dengan baik tentang tujuan pendidikan serta pengetahuan atau materi-materi lain (Imam Barnadib, 1988). (3) Inti proses pendidikan adalah asimilasi dari mata pelajaran yang telah ditentukan. Kurikulum diorganisasi dan direncanakan dengan pasti oleh orang dewasa. Pandangan ini sesuai dengan filsafat realisme bahwa secara luas lingkungan material dan sosial, adalah manusia yang menentukan bagaimana seharusnya ia hidup.
          Prinsip-prinsip pendidikan esensialisme adalah sebagai berikut:
a.     Sekolah harus mempertahankan motede-metode tradisional yang bertautan dengan disiplin mental.
b.     Tujuan akhir pendidikan adalah untuk meningkatkan kesejahteraan umum.
c.       Menghendaki pendidikan yang bersendikan atas nilai-nilai yang tinggi, yang hakiki kedudukannya dalam kebudayaan. Nilai-nilai ini hendaklah yang sampai kepada manusia melalui sivilisasi dan telah teruji oleh waktu. Tugas pendidikan adalah sebagai perantara atau pembawa nilai-nilai yang ada di dalam gudang di luar ke jiwa peserta didik. Ini berarti bahwa peserta didik itu perlu dilatih agar mempunyai kemampuan penyerapan yang tinggi (Imam Barnadib, 2002).
Tentang kurkulum, idealisme memandang hendaklah berpangkal pada landasan ideal dan organisasi yang kuat. Seperti halnya pandangan Herman Herman Harrell Horne, yang digambarkan oleh Bogoslousky, bahwa kurikulum idealisme dapat digambarkan sebuah rumah yang mempunyai empat bagian yakni:
a.     Universum. Pengetahuan yang merupakan latar belakang dari segala manifestasi hidup manusia. Di antaranya adalah adanya kekuatan-kekuatan alam, asal-asul tata surya dan lain-lainnya. Basis pengetahuan ini adalah ilmu pengetahuan alam kodrat yang diperluas.
b.     Sivilisasi. Karya yang dihasilkan manusia sebagai akibat hidup bermasyarkat. Dengan sivilisasi manusia mampu mengadakan pengawasan terhadap lingkungannya, mengejar kebutuhannya, dan hidup aman dan sejahtera.
d.     Kebudayaan. Karya manusia yang mencakup di antaranya filsafat, kesenian, kesusasteraan, agama, penafsiran dan penilaian mengenai lingkungan.
e.     Kepribadian. Bagian yang bertujuan pembentukan kepribadian dalam arti ril yang tidak bertentangan dengan kepribadian ideal. Dalam kurikulum hendaklah diusahakan agar faktor-faktor fisiologis, emosional, dan inntelektual sebagai keseluruhan, dapat berkembang harmonis dan organis, sesuai dengan kemanusiaan yang ideal tersebut (Imam Barnadib, 1982). 

TINJAUAN FILOSOFIS TENTANG TUJUAN PENDIDIKAN NASIONAL


Perkembangan diskusi publik dalam polemik tentang RUU Sisdiknas cenderung tereduksi pada masalah pendidikan agama, padahal persoalan yang jauh lebih besar dan mendasar terletak pada filosofi pendidikan yang menjadi roh sisdiknas.
Bila kita melihat dengan teliti, draf usulan Diknas maupun DPR mengenai Tujuan Pendidikan Nasional kiranya perlu evaluasi kritis mendalam, sebab rumusan dan konsep tujuan pendidikan nasional akan amat berpengaruh pada implementasi, dinamika, arah, dan pelaksanaan pendidikan. Ujung-ujungnya, mutu atau kualitas hasil pendidikan nasional. Karena itu, tujuan pendidikan nasional tidak boleh melupakan landasan konseptual filosofi pendidikan yang membebaskan dan mampu menyiapkan generasi masa depan untuk bisa bertahan hidup (survive) dan berhasil menghadapi tantangan-tantangan zamannya.
TUJUAN pendidikan nasional dalam RUU Sisdiknas terkesan kurang memiliki visi futuristik ke depan dan hanya berpusat pada kebutuhan dan tuntutan temporal zaman sekarang. Solusi atas masalah temporal yang tersirat pun tampak ironis karena lemahnya persepsi dan filosofi. Sebagai contoh, masalah “dekadensi moral bangsa” yang dijawab dengan “keimanan dan ketakwaan”. Bukankah ini sebagai pertanyaan “harga kambing berapa?” dijawab dengan “jantan”. Jawaban konseptual yang logis dan to the point kiranya akan mengarah kepada pendidikan budi pekerti (moral/etika), kemandirian, kesadaran, dan kecerdasan.
Tujuan pendidikan nasional yang dirumuskan dan dibahas, mengandung filosofi pendidikan yang sudah ketinggalan zaman guna menghadapi tantangan sekarang dan masa depan. Filosofi pendidikan yang ada pada Tujuan Pendidikan Nasional dalam RUU Sisdiknas terkonsentrasi pada aktivitas guru, dosen atau pendidik. Filosofi pendidikan yang demikian akan menelikung kemampuan kreativitas peserta didik dan pedagoginya cenderung bersifat naratif dan indoktrinatif. Peserta didik ditempatkan seperti obyek penderita atau gudang yang menyimpan materi berdasar kurikulum yang diajarkan. Ruang kreativitas dan aktualisasi diri peserta didik amat kurang sehingga kreativitas peserta didik berkutat pada nyontek atau mengembangkan metode repetisi bahan-bahan.
Dalam pedagogi naratif dan indoktrinatif, pendidik lebih aktif dalam proses pendidikan sementara peserta didik lebih pasif dan membeo. Peserta didik diperlakukan sebagai pihak yang harus dikembangkan dan dicerdaskan. Pedagogi demikian mengandung filosofi pendidikan yang kurang membebaskan peserta didik dan bersimpangan dengan alam demokrasi, sebab peserta didik ditempatkan pada posisi yang amat lemah seperti pasien di hadapan dokter (bandingkan Henry A Giroux, 1996). Sementara pendidik ditempatkan pada posisi yang amat kuat seperti seorang dokter yang memberi obat dan harus ditelan pasien.
Filosofi pendidikan seperti itu tak memadai lagi, karena peserta didik tidak lagi sebagai sentra dalam proses pendidikan. Aktualisasi potensi dan bakat peserta didik menjadi terabaikan. Akibatnya, rasa percaya diri dan kemampuan berekspresi peserta didik kurang diberi ruang untuk berkembang. Padahal, keberhasilan pendidikan bukan terletak pada isi yang diberikan tetapi atmosfer dan proses interaksi, yang dalam pendidikan akan mempengaruhi kreativitas, kecerdasan, mutu dan kualitas yang dihasilkan.
Karena itu, atmosfer pendidikan, pola-pola pikir dan perilaku lebih dibangun melalui filosofi pendidikan yang menjadi jiwa meresapi iklim, suasana, mekanisme sistem, interaksi, dan proses pendidikan. 70 persen keberhasilan pendidikan lebih ditentukan oleh atmosfer pendidikan daripada isi yang diajarkan. Setelah lulus jenjang pendidikan tertentu, peserta didik sudah tidak ingat lagi akan materi yang diajarkan, tetapi pola pikir, metode, pola afeksi, rasa merasa, dan kreativitas yang tumbuh tetap melekat dan terintegrasikan. Dari sudut isi, peserta didik akan mengatakan “we learn anything about nothing” namun dari sudut keberhasilan pendidikan, peserta didik masih teringat akan pengalaman suasana di kelas, suasana interaksi pendidikan yang menumbuhkan sikap dasar, pola pikir, rasa merasa, pola mental, cara memandang, dan kesadaran akan realitas kehidupan.
Rumusan Tujuan Pendidikan Nasional dalam RUU Sisdiknas mengandung filosofi pendidikan sebagai educare, yang untuk zaman sekarang sudah kurang memadai dan sebaiknya disempurnakan atau dilengkapi. Sebab filosofi pendidikan educare lebih cenderung mau mengajar, melatih dan melengkapi peserta didik dengan pengetahuan dan keterampilan. Karena itu, filosofi pendidikan educare amat memberi penekanan pada materi yang diajarkan, disertai sistem penilaian yang baku dan kaku yang harus dilaksanakan. Proses pendidikan tahap tertentu dianggap selesai dengan hasil ujian dan selesainya pemberian materi.
Tujuan Pendidikan Nasional perlu dirumuskan kembali sehingga memuat secara implisit filosofi pendidikan sebagai educare. Educare berarti membimbing, menuntun, dan memimpin. Filosofi pendidikan sebagai educare ini lebih mengutamakan proses pendidikan yang tidak terjebak pada banyaknya materi yang dipaksakan kepada peserta didik dan harus dikuasai. Proses pendidikan educare lebih merupakan aktivitas hidup untuk menyertai, mengantar, mendampingi, membimbing, memampukan peserta didik sehingga tumbuh berkembang sampai pada tujuan pendidikan yang dicita-citakan. Di sini atmosfer pendidikan mendapat tekanan dan peserta didik diberi keleluasaan untuk mengeksplorasi diri dan dunianya sehingga berkembang kreativitas, ide, dan keterampilan diri sebagai bagian dari masyarakatnya. Minat dan bakat peserta didik diperlakukan sebagai sentra dan hal yang amat berharga. Peran pendidik lebih sebagai narasumber, pendorong, pemberi motivasi, dan fasilitator bagi peserta didik. Filosofi pendidikan yang demikian ini belum terakomodasi oleh Tujuan Pendidikan Nasional dalam RUU Sisdiknas; padahal filosofi pendidikan educare mengantar pada tumbuhnya kepercayaan diri, kemandirian, kedewasaan dan kecerdasan peserta didik.
ATRIBUT praktis seperti “bertakwa”, “berakhlak”, “berbudi mulia”, “sehat”, “berilmu”, “cakap”, “warga negara yang demokratis” telah menjebak rumusan tujuan pendidikan nasional menjadi terlalu teknis-praktis, parsial, dan temporal. Tujuan pendidikan nasional perlu dijiwai filosofi pendidikan yang menawarkan perennial values yang bersifat universal dan tak lekang oleh perubahan zaman.
Karena itu, suatu usulan rumusan komprehensif menyeluruh yang terbuka kiranya jauh lebih menguntungkan untuk menyiapkan generasi masa depan. Usulan rumusan tersebut adalah: Pendidikan Nasional bertujuan mendampingi dan mengantar peserta didik kepada kemandirian, kedewasaan, kecerdasan, agar menjadi manusia profesional (artinya memiliki keterampilan (skill), komitmen pada nilai-nilai dan semangat dasar pengabdian/pengorbanan) yang beriman dan bertanggung jawab akan kesejahteraan dan kemakmuran warga masyarakat, nusa dan bangsa Indonesia.
Demikianlah rumusan Tujuan Pendidikan Nasional yang sederhana namun diharapkan dapat memberi ruang bagi muatan filosofi pendidikan dan visi futuristik dalam menyiapkan generasi mendatang yang andal, cerdas, mempunyai komitmen moral dan semangat pengabdian.

FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM


A.      Hakikat Manusia
1)        Filsafat: Berfikir Bebas, Radikal, Sistematis dan Menyeluruh Tentang Sesuatu.
·       Bebas: tidak terikat dengan dogma agama, tradisi, aliran dan sebagainya.
·       Radikal: mendalam sampai keakar-akarnya sampai pada konsekuensi terakhir.
·       Sistematik: yang telah diketahui itu disusun, di organisasikan, di klasifikasi, digolong-golongkan.
·       Menyeluruh: seluruh elemen untuk mencari hakikat sesuatu harus diikuti sertakan dan dikaji.
2)        Menurut An-Nahlawi, Pendidikan Mengandung:
·      Proses yang mempunyai tujuan dan objek.
·      Pendidik yang sebenarnya hanyalah Allah.
·      Pendidikan harus ada langkah-langkah dan tahapan sistematis.
·      Sistem kerja pendidik mengikuti sunnatullah dan aturan agama.
3)        Islam: Penyerahan diri kepada Allah , dan dengan menyerahkan diri kepadanya maka ia memperoleh keselamatan dan kedamaian (unsur penyerahan diri) keselamatan, dan unsur kedamaian.
Filsafat Pendidikan: Pelaksanaan pandangan filsafat dan kaidah filsafat dalam bidang pendidikan. Imam Banardib: filsafat pendidikan ialah ilmu pendidikan yang bersendirikan filsafat atau filsafat yang diterapkan dalam usaha pemikiran dan pemecahan masalah-masalah pendidikan.
Filsafat Pendidikan Islam: pemikiran-pemikiran filosofis yang diambil dari sistem filsafat atau jawaban-jawaban filosofis terhadap masalah pendidikan atau sejumlah postulah yang tidak bertentangan dengan Islam untuk dijadikan pedoman di lapangan pendidikan.
B.      Ruang Lingkup Filsafat Pendidikan Islam
1)      Ontologi: sebagai cabang filsafat yang ingin mencari dan menemukan hakikat dari sesuatu yang ada (being) seperti Tuhan, manusia dan alam.
·      Being ada dua: menciptakan dan diciptakan, ad yang menyebabkan dan ada yang di akibatkan.
·      Ada yang dapat disandarkan kepada eksistensi Tuhan dan ada disandarkan kepada eksistensi manusia. Jika terjadi konflik antara ada disandarkan kepada Tuhan dan ada disandarkan kepada manusia dalam konsep Islam harus dimenangkan oleh eksistensi Tuhan.
·      Jika terjadi konflik antara otoritas manusia (kultur) terhadap alam (nature) maka seharusnya manusia tidak harus mempunyai otoritas mutlak terhadapnya. Karena manusia-manusia tidak terlibat mengadakan alam itu sendiri.
·      Yang nyata (realitas) sesuatu yang berada pada sesuatu yang merupakan bagian dari yang ada itu sendiri. Realita selalu berdimensi ruang dan waktu, karenanya selalu mengandung pluralitas dan realitivitas. Filsafat Islam memandang realitas pada hakikatnya adalah spiritual. Hakikat spiritual dari realitas terhadap padanya dinamika dan perubahan, yang secara kodrati selalu terjadi dan akan terus terjadi, dan merupakan suatu sunnatullah.
·      Esensi dan Eksistensi: esensi merupakan alam potensi sedangkan eksistensi merupakan alam aktualisasi dari potensi, dalam filsafat Islam persoalan esensi telah selesai yang kembali kepada Tuhan sedangkan eksistensi harus berada dalam keseimbangan, keselarasan sistem, hokum agama dan akal sehat (spritualitas dan moralitas universal).
·      Hakikat kemajemukan (pluralitas) yang realitas kehidupan itu sendiri yang tidak realitas kehidupan itu sendiri yang tidak bisa dihindari, konflik dan ketegangan pada hakikatnya sesuatu yang alamiah dan wajar saja. Untuk perlu ketegangan dalam pluralitas itu di kelola yang baik untuk tumbuhanya dinamika.
·      Hakikat perubahan: yang abadi adalah perubahan itu sendiri, ad yang dapat diamati dan ada yang dapat kelihatan. Perubahan kehidupan kemestaan itu pada hakikatnya merupakan sunnatullah. Yang mekanismenya terkendali dalam hukum-hukum alam yang ditetapkan alam yang ditetapkan sejak proses penciptaan itu terjadi. Perubahan yang terjadi pada eksistensi manusia merupakan tanggung jawabnya sendiri. 
2)      Epistimologi
·         Epistemologi: cabang filsafat yang membicarakan mengenai hakikat ilmu, dan ilmu sebagai proses adalah usaha pemikiran yang sistematik dan metode untuk menemukan prinsip kebenaran yang terhadap pada suatu objek kajian ilmu
·         Objek kajian ilmu dalam Islam:
a.       Ayat-ayat Qauliyah yang melahirkan ilmu agama
b.      Ayat-ayat Kauniyah melahirkan ilmu alam/pasti.
c.       Manusia itu sendiri melahirkan ilmu humaniora
·         Metode memperoleh ilmu secara umum melalui
a.       kasbi/ khushuli dan
b.      ladunni/ khudhori
Cara berfikir kasbi metodik konsisten dan bertahap melalui proses observasi, reseach, eksperimen dan penemuan. Ladunni: proses pencerahan ruhaniyah manusia disebabkan kehadiran cahaya ilahi dalam qalbu manusia. Dengan sinaran ilahiyah qalbu manusia dapat membaca dengan jelas dan terserap dalam kesadaran intelek, seakan-akan orang peroleh ilmu dari Tuhan langsung.
·         Kebenaran Ilmu: ilmu yang kasbi relative kebenarannya.
·         Tujuan memperoleh ilmu:
-          Ilmu untuk kenikmatan
-          Ilmu untuk ilmu
-          Ilmu mengembangkan peradaban
-          Ilmu untuk sarana mendekatkan diri kepada Allah
·         Etika ilmu harus berpihak kepada kebenaran, pembebasan manusia, kemandirian dan keterbukaan.
·         Sarana peroleh ilmu: melalui inderawi dan potensi-potensi internal manusia (nafs, akal, qalb, dan lain-lain).
3)      Aksiologi
  • Aksiologi ialah cabang filsafat mencari hakikat nilai-nilai (value, nilai bisa baik dan bisa pula jahat) yang berkaitan dengan perbuatan manusia dan tindakan seseorang (dataran aplikatif) yang baik itu ma’ruf yang jahat itu al-munkar.
  • Axiologi (Brameldi) ada tiga sasaran yakni moral canduct (tindakan moral) melahirkan ethica: esthetic. Expression (ekspresi keindahan) melahirkan esthetika: dan sociopolitical life, (kehidupan sosial politik) melahirkan ilmu filafat sosial politik.
  • Hakikat baik dan jahat itu bersifat universal dan absolute, etika sosial misalnya harus berprinsip persamaan dan kebersamaan. Keadilan sosial keterbukaan dan musyawarah.
  • Etika agama membicarakan hubungan manusia dengan Tuhan, manusia dengan manusia, manusia dengan alam dan manusia dengan kebudayaan.
  • Tiga nilai fundamental dalam Filsafat Pendidikan Islam:
1.      Nilai sentral ialah berada pada wilayah titik pusat nilai yang menjadi sumber pengambilan keputusan politik, hokum dan lainnya.
2.      Nilai Sekuler: sebagai penafsiran dan penerapan nilai sentral (inti).
3.      Nilai oprasional yakni lahir dari tindakan sehari-hari yang merupakan pengewajanthan dari nilai sekuler.
  • Nilai Sentral (inti) dalam Islam ialah ma’rifatullah berupa Iman dan tauhid dan mardatillah, ada 3 tauhid menurut Ibnu Taimiyah.
1.      Tauhid Uluhiyah ialah bahwa Allah Maha Tunggal yang paling berhak di sembah, ditaati, dan dipatuhi.
2.      Tauhid Rububiyah, ialah Allah Yang Maha Esa itu yang menciptakan, mengatur perkara-perkaranya dan yang mendidiknya.
3.      Tauhid Al-Asma’ Wa Al-Sifah ialah bahwa tiap-tiap yang berlaku dialam ini bersumber dari perbuatan dan pengaturan Allah, dan kepadanya setiap kesudahan akhir, dan daripadanya pula bermula setiap sesuatu.
  • Nilai sekuler terdiri dari tujuh hubungan:
1.      Dengan Allah: ubudiyah dan Istikhlaf
2.      Dengan masyarakat ta’awun, adalah dan ihsan
3.      Kehidupan dunia: ibtila’
4.      Dengan Ilmu: hubungan fard ‘ain dan kifayah
5.      Kehidupan akhirat: mas’uliyah dan jaza’
6.      Dengan alam: hubungan taskhir dan pembelajaran
  • Hubungan manusia dengan Tuhan adalah hubungan antara hamba dengan majikan, makhluk dan khaliq, ciptaan dan pencipta, hubungan manusia dengan sesamanya, hubungan adalah dan ihsan.
  • Hubungan manusia dengan alam adalah hubungan pengelola (pemimpin) dan yang dikelola (dipimpin) alam merupakan medan empiric bagi manusia untuk kemakmuran manusia dan alam bagian dari dirinya. Kesalahan pengelola akan berakibat fatal bagi kehidupan manusia.
  • Hubungan manusia dengan ciptaannya (kebudayaan) adalah manusia pada dasarnya memegang otoritas dan kekuasaan yang penuh artinya manusia bertanggung jawab untuk apa ciptaannya itu akan diperbuat dan ciptaannya sepenuhnya bergantung pada manusia. Kebudayaan sebagai alat bukan sebagai dipertuhankan nilai operasional diwujudakan dalam:
1.      al-wajibat (hal-hal yang diwajibkan)
2.      al-mandubat (hal-hal yang disunatkan)
3.      al-mahrumat (hal-hal yang diharamkan)
4.      al-makrumat (hal –hal yang dimakruhkan)
5.      al-jaizat (hal-hal yang diperbolehkan)
C.      Fungsi Filsafat Pendidikan Islam
  1. Sebagai landasan pengaruh kepada proses pelaksanaan pendidikan yang berdasarkan ajaran Islam
  2. Melakukan kritik dan koreksi terhadap proses pelaksanaan tersebut
  3. Melaksanakan evaluasi trhadap metode dari proses pendidikan tersebut.
D.      Hakikat Manusia Dalam Perspektif Filsafat Pendidikan Islam
1.      Kejadiannya
·         Asal kejadian manusia pertama ialah persenyawaan antara Tin (Qs Sajadah 32:7), Al-mu’min (23:12), Turab (Qs Al-hajj 22:5, Al-Imran 3:59, Shal-Shal dan Fakhhar (Ar-Rahman 55:14, dan hamain masnun (Qs Al-Hijr 15:26)
·         Awal kejadian manusia pada umumnya melalui proses bioligik melalui pasangan laki-laki dan perempuan (Qs. Al-Mu’minun 23:12-14).
·         Al-Insan dari akar kata Al-Uns atau Anisa (jinak) menunjukkan pada dasarnya manusia itu jinak, dapat menyesuaikan diri dengan realitas hidup dan lingkungannya.
·         Al-Basyar disebut untuk semua makhluk baik laki-laki maupun perempuan, baik secara individual maupun kolektif. Kata basyar adalah jamak dari kata basyarah yang artinya permukaan kulit kepala, wajah, tubuh yang menjadi tempat tumbuhnya rambut, untuk itu kata basyar mengaju kepada manusia dari aspek lahiriyahnya dan mempunyai bentuk tubuh yang sama.
·         Manusia dilihat dari insane maka perkembangan dan pertumbuhannya sangat tergantung perkembangan diri. Lingkungan termasuk pendidikan dan kebudayaan. Sedangkan manusia dari kata basyar sangat tergantung pada alam (apa yang dimakan dan diminumnya).
2.      Potensi Manusia
·         Nafs sinonimnya insane atau al-fard mengacu kepada dzat manusiawi secara keseluruhan Qs. Al-Baqarah 2;48, Ali-Imran 3:185, Al-Maidah 5:45.
·         Akal di sebutkan dalam bentuk kata kerja yang mengacu kepada unsur pemikiran manusia dan akal sebagai penopang agama dan tiang agama. Menurut Al-Aqqad bahwa Al-Lubbu adalah akal yang mampu mengetahui dan memahami, akal merupakan sumber pengetahuan dan pemahaman yang terdapat di dalam otak manusia (Qs. Al-Baqarah 2:73, 159-164).
·         Al-Qolb (Al-Fuad, Shadr, dan Shudur) yang juga menunjuk kepada Al-qalb (Al-Hajj 22:32, Al-Maidah 5:41). Imam bersemayam di Qalbu, kata ini digunakan berkaitan dengan emosi dan akal, tidak menunjuk kepada unsur-unsur biologis, ia merupakan dasar dari fitrah yang sehat, perasaan, iman, kemauan, control pemahaman dan alat ma’rifah ke ilmu.
·         Ruh: tidak didapat batasannya dalam al-qur’an. Ruh dikaitkan di arti pembawa wahyu yakni Jibril, rahasia ilahi yang denganya tanah liat kering menjadi manusia pemberi hidup, dan Al-Qur’an (Qs. Al-Hajj 22:29, Qs. As-Sajadah).
E.      Perpormance Manusia
Rasional: berangkat dari potensi-potensi manusia, funsi-fungsi manusia, keterkaitan dengan lingkungan baik fisik maupun sosial budaya, hakikat insane sendiri maka tampilnya menjadi makhluk paradoksal. Ia bukan malaikat, bukan iblis, dan bukan pula hewan apalagi syetan, tetapi manusia mencakup semua itu, artinya, manusia itu memiliki sifat-sifat kehewanan. Keiblisan dan kemalaikatan.
Menurut murtadha Muthahari perbedaan mendasar antara manusia dan hewan terletak pada Imam dan ilmu (sains).
Dr. Alexi Carrel (seorang peletak dasar humaniora di Barat) manusia adalah makhluk yang misterius, karena derajat keterpisahan manusia dari dirinya berbending terbalik dengan perhatiannya yang demikian tinggi trhadap dunia yang ada diluar dirinya. Implikasi dari padadoksal tersebut manusia menampakkan sifat-sifat negative.
Sifat-sifat positif itu ditunjukkan dengan tugas-tugas manusia dibumi (akan dibicarakan) dan sifat-sifat negatif tersebut antara lain:
-          Putus asa
-          Tidak berterima kasih
-          Berkeluh kesah
-          Amat kikir
-          Membantah
-          Melampaui batas
-          Purba sangka