Perkembangan diskusi publik dalam polemik tentang
RUU Sisdiknas cenderung tereduksi pada masalah pendidikan agama, padahal
persoalan yang jauh lebih besar dan mendasar terletak pada filosofi pendidikan
yang menjadi roh sisdiknas.
Bila kita melihat dengan teliti, draf usulan
Diknas maupun DPR mengenai Tujuan Pendidikan Nasional kiranya perlu evaluasi
kritis mendalam, sebab rumusan dan konsep tujuan pendidikan nasional akan amat
berpengaruh pada implementasi, dinamika, arah, dan pelaksanaan pendidikan. Ujung-ujungnya,
mutu atau kualitas hasil pendidikan nasional. Karena itu, tujuan pendidikan
nasional tidak boleh melupakan landasan konseptual filosofi pendidikan yang
membebaskan dan mampu menyiapkan generasi masa depan untuk bisa bertahan hidup
(survive) dan berhasil menghadapi tantangan-tantangan zamannya.
TUJUAN pendidikan nasional dalam RUU Sisdiknas
terkesan kurang memiliki visi futuristik ke depan dan hanya berpusat pada
kebutuhan dan tuntutan temporal zaman sekarang. Solusi atas masalah temporal
yang tersirat pun tampak ironis karena lemahnya persepsi dan filosofi. Sebagai
contoh, masalah “dekadensi moral bangsa” yang dijawab dengan “keimanan dan
ketakwaan”. Bukankah ini sebagai pertanyaan “harga kambing berapa?” dijawab
dengan “jantan”. Jawaban konseptual yang logis dan to the point kiranya akan
mengarah kepada pendidikan budi pekerti (moral/etika), kemandirian, kesadaran,
dan kecerdasan.
Tujuan pendidikan nasional yang dirumuskan dan
dibahas, mengandung filosofi pendidikan yang sudah ketinggalan zaman guna
menghadapi tantangan sekarang dan masa depan. Filosofi pendidikan yang ada pada
Tujuan Pendidikan Nasional dalam RUU Sisdiknas terkonsentrasi pada aktivitas
guru, dosen atau pendidik. Filosofi pendidikan yang demikian akan menelikung
kemampuan kreativitas peserta didik dan pedagoginya cenderung bersifat naratif
dan indoktrinatif. Peserta didik ditempatkan seperti obyek penderita atau
gudang yang menyimpan materi berdasar kurikulum yang diajarkan. Ruang
kreativitas dan aktualisasi diri peserta didik amat kurang sehingga kreativitas
peserta didik berkutat pada nyontek atau mengembangkan metode repetisi
bahan-bahan.
Dalam pedagogi naratif dan indoktrinatif,
pendidik lebih aktif dalam proses pendidikan sementara peserta didik lebih
pasif dan membeo. Peserta didik diperlakukan sebagai pihak yang harus
dikembangkan dan dicerdaskan. Pedagogi demikian mengandung filosofi pendidikan
yang kurang membebaskan peserta didik dan bersimpangan dengan alam demokrasi,
sebab peserta didik ditempatkan pada posisi yang amat lemah seperti pasien di
hadapan dokter (bandingkan Henry A Giroux, 1996). Sementara pendidik
ditempatkan pada posisi yang amat kuat seperti seorang dokter yang memberi obat
dan harus ditelan pasien.
Filosofi pendidikan seperti itu tak memadai lagi,
karena peserta didik tidak lagi sebagai sentra dalam proses pendidikan.
Aktualisasi potensi dan bakat peserta didik menjadi terabaikan. Akibatnya, rasa
percaya diri dan kemampuan berekspresi peserta didik kurang diberi ruang untuk
berkembang. Padahal, keberhasilan pendidikan bukan terletak pada isi yang
diberikan tetapi atmosfer dan proses interaksi, yang dalam pendidikan akan
mempengaruhi kreativitas, kecerdasan, mutu dan kualitas yang dihasilkan.
Karena itu, atmosfer pendidikan, pola-pola pikir
dan perilaku lebih dibangun melalui filosofi pendidikan yang menjadi jiwa
meresapi iklim, suasana, mekanisme sistem, interaksi, dan proses pendidikan. 70
persen keberhasilan pendidikan lebih ditentukan oleh atmosfer pendidikan
daripada isi yang diajarkan. Setelah lulus jenjang pendidikan tertentu, peserta
didik sudah tidak ingat lagi akan materi yang diajarkan, tetapi pola pikir,
metode, pola afeksi, rasa merasa, dan kreativitas yang tumbuh tetap melekat dan
terintegrasikan. Dari sudut isi, peserta didik akan mengatakan “we learn
anything about nothing” namun dari sudut keberhasilan pendidikan, peserta didik
masih teringat akan pengalaman suasana di kelas, suasana interaksi pendidikan
yang menumbuhkan sikap dasar, pola pikir, rasa merasa, pola mental, cara
memandang, dan kesadaran akan realitas kehidupan.
Rumusan Tujuan Pendidikan Nasional dalam RUU
Sisdiknas mengandung filosofi pendidikan sebagai educare, yang untuk zaman
sekarang sudah kurang memadai dan sebaiknya disempurnakan atau dilengkapi.
Sebab filosofi pendidikan educare lebih cenderung mau mengajar, melatih dan
melengkapi peserta didik dengan pengetahuan dan keterampilan. Karena itu,
filosofi pendidikan educare amat memberi penekanan pada materi yang diajarkan,
disertai sistem penilaian yang baku dan kaku yang harus dilaksanakan. Proses
pendidikan tahap tertentu dianggap selesai dengan hasil ujian dan selesainya
pemberian materi.
Tujuan Pendidikan Nasional perlu dirumuskan
kembali sehingga memuat secara implisit filosofi pendidikan sebagai educare.
Educare berarti membimbing, menuntun, dan memimpin. Filosofi pendidikan sebagai
educare ini lebih mengutamakan proses pendidikan yang tidak terjebak pada
banyaknya materi yang dipaksakan kepada peserta didik dan harus dikuasai.
Proses pendidikan educare lebih merupakan aktivitas hidup untuk menyertai,
mengantar, mendampingi, membimbing, memampukan peserta didik sehingga tumbuh
berkembang sampai pada tujuan pendidikan yang dicita-citakan. Di sini atmosfer
pendidikan mendapat tekanan dan peserta didik diberi keleluasaan untuk mengeksplorasi
diri dan dunianya sehingga berkembang kreativitas, ide, dan keterampilan diri
sebagai bagian dari masyarakatnya. Minat dan bakat peserta didik diperlakukan
sebagai sentra dan hal yang amat berharga. Peran pendidik lebih sebagai
narasumber, pendorong, pemberi motivasi, dan fasilitator bagi peserta didik.
Filosofi pendidikan yang demikian ini belum terakomodasi oleh Tujuan Pendidikan
Nasional dalam RUU Sisdiknas; padahal filosofi pendidikan educare mengantar
pada tumbuhnya kepercayaan diri, kemandirian, kedewasaan dan kecerdasan peserta
didik.
ATRIBUT praktis seperti “bertakwa”, “berakhlak”,
“berbudi mulia”, “sehat”, “berilmu”, “cakap”, “warga negara yang demokratis”
telah menjebak rumusan tujuan pendidikan nasional menjadi terlalu
teknis-praktis, parsial, dan temporal. Tujuan pendidikan nasional perlu dijiwai
filosofi pendidikan yang menawarkan perennial values yang bersifat universal
dan tak lekang oleh perubahan zaman.
Karena itu, suatu usulan rumusan komprehensif
menyeluruh yang terbuka kiranya jauh lebih menguntungkan untuk menyiapkan
generasi masa depan. Usulan rumusan tersebut adalah: Pendidikan Nasional
bertujuan mendampingi dan mengantar peserta didik kepada kemandirian,
kedewasaan, kecerdasan, agar menjadi manusia profesional (artinya memiliki
keterampilan (skill), komitmen pada nilai-nilai dan semangat dasar
pengabdian/pengorbanan) yang beriman dan bertanggung jawab akan kesejahteraan
dan kemakmuran warga masyarakat, nusa dan bangsa Indonesia.
Demikianlah rumusan Tujuan Pendidikan Nasional yang
sederhana namun diharapkan dapat memberi ruang bagi muatan filosofi pendidikan
dan visi futuristik dalam menyiapkan generasi mendatang yang andal, cerdas,
mempunyai komitmen moral dan semangat pengabdian.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar