Total Tayangan Halaman

Kamis, 12 Januari 2012

ALIRAN FILSAFAT PENDIDIKAN ESENSIALISME


Filsafat pendidikan modern pada garis besarnya dibagi kepada empat aliran yaitu aliran progresivisme, esensialisme, perenialisme dan rekonstruksianisme (Imam Barnadib, 1982, Mohammad Noor Syam, 1986). Namun pada tulisan ini hanya penggambaran singkat yakni penggambaran  hal-hal yang menjadi ciri utama masing-masing aliran filsafat pendidikan.
          Secara etimologi esensialisme berasal dari bahasa Inggiris yakni essential (inti atau pokok dari sesuatu), dan isme berarti aliran, mazhab atau paham. Menurut Brameld bahwa esensialisme ialah aliran yang lahir dari perkawinan dua aliran dalam filsafat yakni idealism dan realism. Aliran ini menginginkan munculnya kembali kejaaan yang pernah diraih, sebelum abad kegelapan atau disebut “the dark middle age” (zaman ini akal terbelenggu, stagnasi dalam ilmu pengeetahuan, kehidupan diwarnai oleh dogma-dogma gerejani. Zaman renaissance timbul ingin menggantikannya dengan kebebasan dalam berpikir.
          Esensialisme dianggap para ahli sebagai “conservative road to culture” yakni ingin kembali kepada kebudayaan lama, warisan sejarah yang telah terbukti kebaikannya bagi kehidupan manusia, terutama zaman renaissance pada abad XI, XII, XIII dan XIV. Pada masa ini telah berkembang usaha-usaha menghidupkan kembali ilmu pengetahuan dan kesenian serta kebudayaan Purbakala, terutama di zaman Yunani dan Romawi Purbakala. Zaman renaissance ini sebagai reaksi terhadap tradisi, puncaknya tumbuh individualism dalam berpikir dan bertindak dalam semua cabang aktivitas manusia. Sumber utama dari kebudayaan itu adalah ajaran filsafat, ahli ilmu pengetahuan, yang ajaran dan nilai-nilai ilmu mereka bersifat kekal dan monumental.
          Pemikir-pemikir besar yang telah dianggap sebagai peletak dasar asas-asas filsfat aliran ini  terutama yang hidup pada zaman klasik seperti Plato, Aristatoles, dan Democritus.
          Dalam bidang pendidikan, “fleksibilitas”dalam segala bentuk dapat menjadi sumber timbulnya pandangan yang berubah-ubah, kurang stabil dan tidak menentu sehingga pendidikan itu kehilangan arah. Pendidikan haruslah bersendirikan atas nilai-nilai yang dapat mendatangkan kestabilan, sehingga untuk memenuhinya haruslah dipilih nilai-nilai yang mempunyai tata yang jelas dan yang telah teruji oleh waktu yakni nilai-nilai yang berasal dari kebudayaan dan filsafat yang korelatif selama empat abad belakangan ini, dengan perhitungan zaman renaissance sebagai pangkal timbulnya pandangan esensialisme.
          Realisme, titik tinjauannya adalah mengenai alam dan dunia fisik, sedangkan idealism modern, pandangan-pandangannya bersifat spiritual. Brubacher memberikan ciri masing-masing:
  1. Realisme; alam adalah yang pertama-tama memiliki kenyataan pada diri sendiri, dan ini harus dijadikan pangkal berfilsafat. Kualitas-kualitas dari pengalaman terletak pada dunia fisik, dan disanalah terdapat sesuatu yang menghasilkan penginderaan dan persepsi-persepsi yang tidak semata-mata bersifat mental. Jadi jiwa dapat diumpamakan sebagai cerminan yang menerima gambaran-gambaran yang berasal dari dunia fisik. Ini berarti bahwa anggapan-anggapan mengenai adanya kenyataan itu tidak dapat hanya sebagai hasil tinjauan yang menyebelah saja, melainkan pertemuan antara keduanya.
  2. Idealisme modern; bahwa realita adalah sama dengan substansi gagasan (ide-ide). Di balik dunia fenomena ini ada jiwa yang tidak terbatas yaitu Tuhan yang merupakan pencipta adanya kosmos. Manusia sebagai makhluk berpikir berada dalam lingkungan kekuasaan Tuhan. Dengan menguji dan menyelidiki ide-ide serta gagasannya, manusia akan dapat mencapai kebenaran yang sumbernya adalah Tuhan.  
Menurut Imam Barnadib bahwa ciri utama esensialisme adalah pendidikan haruslah bersendikan atas nilai-nilai yang dapat mendatangkan kestabilan. Agar dapat terpenuhi maksud tersebut nilai-nilai itu perlu dipilih yang mempunyai tata yang jelas dan yang telah teruji oleh waktu. Nilai-nilai yang dapat memenuhi hal tersebut adalah yang berasal dari kebudayaan dan filsafat yang korelatif selama empat abad belakangan ini; dengan perhitungan zaman Renaisans, sebagai pangkal timbulnya pandangan-pandangan esensialistis awal. Puncak refleksi dari gagasan ini adalah pada pertengahan kedua abad ke sembilan belas. Esensialisme merupakan suatu gerakan dalam pendidikan yang memprotes terhadap pendidikan progresivisme. Esensialisme tidak sependapat dengan pandangan progresivisme yang serba fleksibilitas dalam segala bentuk. Pendidikan yang bersendikan atas nilai-nilai yang bersifat demikian ini dapat menjadikan pendidikan itu sendiri kehilangan arah. Dalam pemikiran pendidikan esensialisme, pada umumnya didasari atas filsafat idealisme dan realisme. Sumbangan dari masing-masing ini bersifat eklektif.
a. Ontologi Esensialisme:      
Ontologi filsafat pendidikan idealisme menyatakan bahwa kenyataan dan kebenaran itu pada hakikatnya adalah ide-ide atau hal-hal yang berkualitas spiritual. Oleh karena itu, hal pertama yang perlu ditinjau pada peserta didik adalah pemahaman sebagai makhluk spiritual dan mempunyai kehidupan yang bersifat teleologis dan idealistik. Pendidikan bertujuan untuk membimbing peserta didik menjadi makhluk yang berkepribadian, bermoral, serta mencita-citakan segala hal yang serba baik dan bertaraf tinggi.
b. Epistemologi Esensialisme:
Aspek epistemologi yang perlu diperhatikan halam pendidikan adalah pengetahuan hendaknya bersifat ideal dan spiritual, yang dapat menuntun kehidupan manusia pada kehidupan yang lebih mulia. Pengetahuan semacam itu tidak semata-mata terikat kepada hal-hal yang bersifat fisik, tetapi mengutamakan yang bersifat spiritual. Sedangkan aspek aksiologi menempatkan nilai pada dataran yang bersifat tetap dan idealistik. Artinya, pendidik hendaknya tidak menjadikan peserta didik terombang-ambing oleh hal-hal yang bersifat relative atau temporer (Imam Barnadib, 2002). Ontologi dari filsafat pendidikan realisme bahwa pendidikan itu seyogyanya mengutamakan perhatian pada peserta didik seperti apa adanya, artinya utuh tanpa reduksi.
Dalam bidang epistemologi, bahwa pengetahuan adalah hasil yang dicapai oleh proses mana subjek dan objek mengadakan pendekatan. Dengan demikian hasilnya adalah perpaduan antara pengamatan, pemikiran, dan keseimpulan dari kemampuan manusia dalam menyerap objeknya. Oleh karena itu, epistemologi dalam filsafat pendidikan realisme adalah proses dan produk dari seberapa jauh pendidik dapat mempelajari secara ilmiah emperis mengenai peserta didiknya. Hasil-hasilnya akan digunakan sebagai dasar untuk menyelenggarakan pendidikan.
c. Aksiologi Esensialisme:
Sedangkan dalam bidang aksiologi, faktor peserta didik perlu dipandang sebagai agen yang ikut menentukan hakikat nilai (Imam Barnadib, 2002).
          Esensialisme didasari atas pandangan humanisme yang merupakan reaksi terhadap hidup yang mengarah pada keduniaan, serba ilmiah dan materialistis. Selain itu juga diwarnai oleh pandangan-pandangan dari paham penganut aliran idealisme dan realisme. Tujuan umum aliran esensialisme adalah membentuk pribadi bahagia di dunia dan akhirat (Zuharini, dkk, 1992). Johann Amos Comenius (1592-1670) sebagai salah satu tokoh esensialisme mengatakan bahwa karena dunia ini dinamis dan bertujuan, kewajiban pendidikan adalah membentuk anak sesuai dengan kehendak Tuhan. Tugas utama pendidikan ialah membina kesadaran manusia akan semesta dan dunia, untuk mencari kesadaran spiritual, menuju Tuhan (Imam Barnadib, 2002; Mohammad Noor Syam, 19886).
Teori nilai menurut Idealisme bahwa hukum-hukum etika adalah hukum kosmos, karena itu seseorang dikatakan baik hanya bila ia secara aktif berada di dalam dan melaksanakan hukum-hukum itu. Dengan demikian posisi seseorang jelas dapat dimengerti dalam hubungannya dengan nilai-nilai itu. Dalam filsafat, misalnya agama dianggap mengajarkan doktrin yang sama, bahwa perintah-perintah Tuhan mampu memecahkan persoalan-persoalan moral bagi siapapun yang mau menerima dan mengamalkannya. Meskipun Idealisme menjunjung asas otoriter atas nilai-nilai itu, namun ia tetap mengakui bahwa pribadi secara aktif bersifat menentukan nilai-nilai itu atas dirinya sendiri yaitu memilih dan melaksanakan.
          Teori nilai menurut Realisme
Prinsip sederhana Realisme tentang etika ialah melalui asas ontologi bahwa sumber semua pengalaman manusia terletak pada keteraturan lingkungan hidupnya. Karena itu approach yang paling tetap pada nilai-nilai ialah sebagai mana approach pada pengetahuan, yakni dengan pemahaman obyektif atas peristiwa-peristiwa dalam kehidupan. Fakta, peristiwa itulah yang menimbulkan pertimbangan proporsional dalam ekspresi keinginan, rasa kagum, tidak suka dan penolakan. Kecenderungan approach obyektif ini yang melahirkan penyelidikan ilmiah, khususnya dalam ilmu pengetahuan sosial (Mohammad Noor Syam, 1986).
          Teori belajar menurut esesialisme ialah teori korenpondensi sebagai dasar. Yakni kebenaran adalah persesuaian antara pernyataan dan fakta. Meskipun proses belajar dianggap bidang psikologi, tetap oleh aliran ini belajar juga dianggap sebagai masalah ontologi, epistemologi dan axiologi. Pendirian demikian berdasarkan prinsip bahwa perlu verifikasi kodrat realita yang kita pelajari (ontologi). Juga diperlukan reliabilitas pengetahuan yang dipelajari (epistemologi) dan demikian pula nilai dari realitas dan pengetahuan itu (axiologi). Pada prinsipnya proses belajar adalah melatih daya jiwa yang potensial sudah ada. Proses belajar sebagai proses menyerap apa yang berasal dari luar. Yaitu dari warisan-warisan sosial yang disusun di dalam kurkulum tradisional, dan guru berfungsi sebagai perantara.
          Prinsip-prisinsip pendidikan esensialisme yaitu (1) pendidikan harus dilakukan melalui usaha keras, tidak begitu saja timbul dari dalam diri siswa, (2) inisiatif dalam pendidikan ditekankan pada guru, bukan pada peserta didik. Peranan guru adalah menjembatani antara dunia orang dewasa dengan dunia anak. Guru disiapkan secara khusus untuk melaksanakan tugas di atas, sehingga guru lebih berhak untuk membimbing pertumbuhan peserta didiknya. Esensialisme, menurut Imam Barnadib, bahwa guru sebagai penentu bagi pendidikan. Kedudukan guru atau pendidik demikian penting karena mereka mengenal dengan baik tentang tujuan pendidikan serta pengetahuan atau materi-materi lain (Imam Barnadib, 1988). (3) Inti proses pendidikan adalah asimilasi dari mata pelajaran yang telah ditentukan. Kurikulum diorganisasi dan direncanakan dengan pasti oleh orang dewasa. Pandangan ini sesuai dengan filsafat realisme bahwa secara luas lingkungan material dan sosial, adalah manusia yang menentukan bagaimana seharusnya ia hidup.
          Prinsip-prinsip pendidikan esensialisme adalah sebagai berikut:
a.     Sekolah harus mempertahankan motede-metode tradisional yang bertautan dengan disiplin mental.
b.     Tujuan akhir pendidikan adalah untuk meningkatkan kesejahteraan umum.
c.       Menghendaki pendidikan yang bersendikan atas nilai-nilai yang tinggi, yang hakiki kedudukannya dalam kebudayaan. Nilai-nilai ini hendaklah yang sampai kepada manusia melalui sivilisasi dan telah teruji oleh waktu. Tugas pendidikan adalah sebagai perantara atau pembawa nilai-nilai yang ada di dalam gudang di luar ke jiwa peserta didik. Ini berarti bahwa peserta didik itu perlu dilatih agar mempunyai kemampuan penyerapan yang tinggi (Imam Barnadib, 2002).
Tentang kurkulum, idealisme memandang hendaklah berpangkal pada landasan ideal dan organisasi yang kuat. Seperti halnya pandangan Herman Herman Harrell Horne, yang digambarkan oleh Bogoslousky, bahwa kurikulum idealisme dapat digambarkan sebuah rumah yang mempunyai empat bagian yakni:
a.     Universum. Pengetahuan yang merupakan latar belakang dari segala manifestasi hidup manusia. Di antaranya adalah adanya kekuatan-kekuatan alam, asal-asul tata surya dan lain-lainnya. Basis pengetahuan ini adalah ilmu pengetahuan alam kodrat yang diperluas.
b.     Sivilisasi. Karya yang dihasilkan manusia sebagai akibat hidup bermasyarkat. Dengan sivilisasi manusia mampu mengadakan pengawasan terhadap lingkungannya, mengejar kebutuhannya, dan hidup aman dan sejahtera.
d.     Kebudayaan. Karya manusia yang mencakup di antaranya filsafat, kesenian, kesusasteraan, agama, penafsiran dan penilaian mengenai lingkungan.
e.     Kepribadian. Bagian yang bertujuan pembentukan kepribadian dalam arti ril yang tidak bertentangan dengan kepribadian ideal. Dalam kurikulum hendaklah diusahakan agar faktor-faktor fisiologis, emosional, dan inntelektual sebagai keseluruhan, dapat berkembang harmonis dan organis, sesuai dengan kemanusiaan yang ideal tersebut (Imam Barnadib, 1982). 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar